Dana Corporate Social Responsibilty (CSR) PT Telkom yang diduga kuat diskrimininatif menuai kritikan keras dari berbagai kalangan masyarakat. Seharusnya, salah satu perusahaan milik pemerintah yang saat ini dikomandoi oleh Alex J Sinaga itu dapat bersikap adil.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu ratusan mahasiswa dan pemuda mengajukan tuntutan dan aspirasi di depan Gedung PT Telkom. Dimana mereka memprotes sikap Dirut PT Telkom Alex J Sinaga yang diduga melakukan penyelewengan dana CSR untuk kepentingan kelompok-kelompoknya.
Mereka menduga Alex J Sinaga pilih kasih dalam menyalurkan bantuan keagamaan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dan memicu terjadinya konflik SARA di masyarakat. Atas dasar itu, mereka mendesak agar Menteri BUMN untuk segera mencopot Alex J Sinaga sebagai Dirut PT Telkom dan tidak memilih kembali Alex J Sinaga dalam RUPS nantinya.
Kelompok masyarakat yang juga mengkritik kebijakan PT Telkom tersebut adalah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Disampaikan Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud, Senin (16/4/2018), meski secara undang-undang memang tidak ada larangan, akan tetapi secara moral kebangsaan seharusnya hal tersebut tidak boleh dibeda-bedakan. Dia pun menyesalkan sikap Direktur Utama PT Telkom yang diduga melakukan diskriminatif terhadap pembagian dana CSR kepada masyarakat Indonesia.
“Tidak boleh ada diskriminasi, mestinya begitu. Memang orang islam tidak ada yang kapabel di bidang-bidang itu kan juga tidak, pasti banyak. Yang penting jangan melakukan diskriminasi karena golongannya juga pula karena agamanya,” jelas Marsudi.
Terkait adanya tuntutan mahasiswa, Marsudi merespon positif aspirasi yang disampaikan para mahasiwa tersebut. Terlebih, para ‘agen perubahan’ itu mengkritisi kebijakan yang dinilai dan dirasa janggal.
“Sebagai mahasiswa, tulang punggung pemilik bangsa ke depan itu mahasiswa apa saja harus kritis,” ujar dia.
Dan sangat wajar, sambung Marsudi, jika Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap BUMN. Termasuk terhadap PT Telkom yang dikomandoi Alex J Sinaga tersebut.
“Pasti itu dan harus dilihat kinerjanya, apalagi kinerja BUMN besar begitu kan harus propesional, tidak boleh lah diskriminasi dalam memberikan CSR atau diskriminasi dalam posisi pekerjaan atau apa saja yang ada disitu, karena bukan milik pribadi, BUMN ini milik Negara, milik rakyat,” terang Marsudi.
Jika sebelumnya protes datang mahasiswa dan PBNU, kali ini protes serupa datang dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya secara tegas meminta PT Telkom proporsional dalam membagikan dana CSR untuk pembangunan masjid dan gereja. Bukan justru diskriminatif terhadap kepentingan umat islam.
“PT Telkom mencari hidup di tengah mayoritas Muslim di Indonesia. Oleh karena itu, dengan posisi bisnisnya tersebut, Telkom harus proporsional membagi dana CSR. Maksudnya Proporsional itu, Telkom harus paham bahwa pasar Muslim yang besar itulah yang mesti dipupuk dan dihargai sesuai proporsinya,” katanya saat ditanya wartawan, Kamis (19/4/18).
Disebutkan Mustofa, posisi Telkom, bukan dalam rangka misi terhadap agama tertentu. Namun BUMN ini wajib memberikan hak CSR pada semua pihak sesuai proporsinya. Jika tidak proporsional, akan menimbulkan gejolak.
Makna proporsional juga bukan berarti bahwa, penyaluran CSR tidak terkait dengan selera Dirutnya. Jika begitu, maka bisa jadi, yang mendapatkan jatah CSR, hanya pihak-pihak tertentu.
“Jika bagi-bagi dana CSR hanya sebatas selera Dirut, maka akan terjadi suatu waktu bahwa dana CSR hanya menguntungkan kepentingan kelompoknya. Termasuk kelompok agamanya,” tegasnya.
Mustofa meminta PT Telkom yang hidup dan mencari keuntungan di tengah mayoritas muslim, harus memberikan dana CSR yang adil.
Besaran 3,5 Milyar untuk Gereja dan 100 Juta untuk Masjid, tentu BUKAN pembagian yang wajar. Itu diskriminasi yang tidak boleh terjadi di Indonesia.
“Menurut saya, ini cenderung mirip bentuk lain dari penghinaan oleh pejabat publik kepada kelompok agama. Kebijakan seperti itu, benar-benar sangat merendahkan kelompok Muslim di NTT. Belum pernah saya dengar pejabat seperti ini, dalam melakukan kebijakan pembagian dana CSR,” tukasnya.
Mustofa menuturkan jika Presiden punya sensitifitas, sebaiknya pejabat seperti ini dinon-aktifkan saja. Jangan sampai tercemar gara-gara ulah segelintir orang yang tidak jelas motifnya apa.
Dengan tegas dia berkata, membangun negeri ini, memerlukan kontribusi banyak orang. Namun, merobohkan negeri ini, bisa diawali oleh satu orang.
“Dinonaktifkan lebih dulu untuk diperiksa kemungkinan ada motif yang melatarbekakangi kebijakannya itu,” tandas Mustofa.
Bukan hanya itu, jika ada indikasi kasus lain, posisi non-aktif yang bersangkutan sangat memungkinkan untuk diperiksa secara intensif.
Jika dalam pemeriksaan memang terbukti ada indikasi kesengajaan melakukan diskriminasi, maka yang bersangkutan sebaiknya dipecat dan diganti dengan pejabat yang lebih baik.
“Sudah saatnya, Presiden melakukan bersih-bersih terhadap pejabat yang tidak mampu dan tidak mau bersama-sama membangun negeri ini. Apalagi jika indikasi ketidakmampuan menjadi bos di PT Telkom terbukti, lebih baik Presiden memerintahkan Menteri BUMN untuk merotasi yang bersangkutan,” pintanya.
Protes lainnya juga datang dari Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Bung Karno (IKA UBK) Rosidi Roslan. Perlakuan diskriminatif Dirut PT Telkom dinilai mampu mencoreng nama baik Presiden Jokowi yang saat ini sedang di pupuk oleh kabinet kerja.
Ia menilai, dana CSR semestinya dibagikan secara merata dengan menganut keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak baik di mata masyarakat luas.
Karena di zaman keterbukaan informasi seperti saat ini, tambah Rosidi, tindak tanduk pejabat publik bisa berdampak luas. Hal sepele bisa menjadi besar dan bisa mengakibatkan kerusakan yang sangat besar.
“Menjelang pemilu 2019, saya harap para pemangku kepentingan (stakeholder) dapat membuat kebijakan yang dapat menyejukan rakyat. Dan jangan membuat kebijakan diskriminatif yang seolah-olah hanya mementingkan golongannya. Isu ini jika dibiarkan terus berkembang bisa berdampak buruk pada stabilitas nasional,” terang Rosidi yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina Lembaga Bantuan Hukum Anarki Nusantara 56.
Sebagai seorang mahasiswa magister Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Rosidi menyebut langkah mahasiswa yang menuntut pencopotan Dirut PT Telkom merupakan hal wajar. Namun juga tuntutan tersebut harus segera diberikan solusinya oleh Menteri BUMN dan juga Presiden.
Bahkan, sambung Rosidi, jika dalam penyelidikan terbukti ada penyelewengan yang dilakukan oleh Dirut PT Telkom, maka pemerintah wajib memberikan sanksi tegas sebagai efek jera.
“Jangan sampai hanya karena perbuatan diskriminatif seorang pejabat sehingga dapat merusak citra baik Presiden Jokowi. Jadi saya setuju jika Menteri BUMN dan Presiden pertimbangkan pergantian dirut baru secepatnya,” tukas Rosidi.