LBH Antara 56: Keterbukaan Tak Perlu Ditakutkan

Polhukam244 views

Hak untuk Tahu pertama diperingati oleh dunia pada 28 September 2002 di Sofia, Bulgaria. Hak untuk Tahu bagian penting dari Hak Azazi Manusia (HAM). Berdasarkan deklarasi bersama masyarakat Internasional, maka pada tanggal 28 September disepakati setiap tahun menjadi Right to Know Day.

Keterbukaan Informasi merupakan kunci pencapaian target pembangunan berkelanjutan. Karena itu, peringatan Right to Know Day (RTKD) atau Hari Hak untuk Tahu menjadi bagian penting dalam upaya mencerdaskan elemen semua pihak bahwa hak untuk tahu tidak tabu.

“Hak untuk Tahu adalah bagian penting dalam Hak Azazi Manusia (HAM). HAM publik diakui dunia internasional dan merupakan hak konstitusi semua warga negara Indonesia. Karena itu, silakan masyarakat meminta informasi ke badan publik dan badan publik harus melayaninya sebaik mungkin,” ujar Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Anaraki Nusantara 56 Sunarya di Sekretariat LBH Antara 56, Jakarta Barat (1/4).

Ditambahkan, keterbukaan informasi di Indonesia sejak lama dijamin melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28F yang kemudian diperkuat dengan UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menjadikan Komisi Informasi sebagai pelaksana UU dan sejak 2011 setiap tahun memperingati Right To Know Day.

Oleh karena itu, LBH Antara 56 juga memfokuskan kepada keterbukaan informasi publik dengan memberikan edukasi kepada berbagai kalangan masyarakat agar lebih mengenal keterbukaan informasi yang telah dijamin oleh negara. Bukan hanya edukasi, tambah Sunarya, kami juga memberikan bantuan advokasi kepada msyarakat yang permintaan informasi publiknya tidak dilayani dan tidak diberikan oleh badan publik sehingga terjadi penyelesaian sengketa di Komisi Informasi.

Untuk edukasi, konsultasi dan advokasi seputar keterbukaan informasi publik, Sunarya mempersilakan masyarakat menghubungi LBH Antara 56 melalui email lbh.antara56.or.id atau kunjungi laman web lbh-antara56.or.id.

Di tempat terpisah melalui sambungan telepon, Ketua Dewan Pembina Lembaga Bantuan Hukum Anarki Nusantara 56 Rosidi Roslan mengatakan bahwa keterbukaan publik telah menjadi agenda penting LBH Antara 56 untuk terus disampaikan melalui bahasa yang lugas dan dimengerti masyarakat luas. Memberikan edukasi, lanjut Rosidi, masalah hukum yang telah diberlakukan dan dijamin oleh negara kepada masyarakat sama juga dengan membantu program kerja pemerintah.

“Terus terang, meski UU keterbukaan informasi sudah cukup lama disahkan tapi masih banyak badan publik yang belum secara maksimal terbuka akan informasi. Semua mengatakan siap terbuka tapi aplikasi masih jauh dari standar layanan informasi publik,” kata Rosidi yang juga sebagai Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Bung Karno.

Untuk itu, Rosidi mendesak agar para badan publik melakukan standarisasi pelayanan keterbukaan informasi publik sesuai dengan UU keterbukaan informasi publik dan Peraturan Komisi Informasi (Perki). “Karena keterbukaan informasi tanggungjawab kita semua dan informasi publik adalah hak kita semua untuk tahu,” tuturnya.

Seperti diketahui, pemahaman dan mengaplikasikan keterbukaan informasi di Indonesia masih menjadi jalan berliku. Tak hanya badan publik yang oleh UU KIP menjadi lembaga si pemilik informasi publik, juga masih banyak yang lips service dalam pemahamannya.

Terbukti seperti saat pemeringkatan badan publik yang dilaksanakan KI Sumbar untuk kedua kalinya, menemui fakta pemahaman si pemilik informasi publik masih rendah dari harapan sesuai standar layanan informasi publik yang diatur oleh peraturan Komisi Informasi RI Nomor 1 Tahin 2010. Bahkan masih ada badan publik menerapkan pelayanan informasi publiknya asa kapeh jadi banang, asa banang jadi kain alias asal jadi atau sekedar menjawab tuntutan UU KIP saja.

Kondisi itu, justru jadi penyemangat LBH Antara 56 untuk terus menggelorakan semangat keterbukaan. Amanah UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi acuan penting demi penyelenggaran badan publik yang bersih, transparan dan akuntabel.

LBH Antara 56 bersama dengan masyarakat akan menjadi pemain utama mengawal keterbukaan oleh badan-badan publik. Dan Komisi Informasi secara adil yang akan menjadi wasitnya.

“Kami berharap agar komisi informasi bekerja sesuai fungsi dan kewenangannya untuk terus melakukan supervisi kepada badan publik agar terus berbenah serta menjadikan pengelolaan dan pelayanan informasi publik sebagai pengharusutamaan. Jangan biarkan keterbukaan informasi publik tumbuh masive di masyarakat. Bila badan publik tidak mempersiapkan diri, dipastikan dapat menyeret pimpinan badan publik duduk di kursi termohon pada penyelesaian sengketa informasi di komisi informasi. Muaranya, pimpinan badan publik berpotensi duduk di kursi pesakitan di pengadilan sebagai terdakwa tindak pidana informasi publik sesuai Pasal 52 UU KIP,” terang Rosidi.

Merupakan tujuan bersama agar terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) dengan munculnya partisipasi dan pengawasan publik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan pembangunan maupun penggunaan keuangan negara atau daerah.

Terakhir Rosidi berpesan agar badan publik tidak perlu takut terhadap UU 14 tahun 2008, sepanjang badan publik melaksanakan ketentuan perundang-undangan terkait keterbukaan informasi publik.